Peta Persebaran Islam di Tanah Kayong ( TACB) |
Penyebaran
Islam di Kabupaten Ketapang dan Kayong utara atau yang lazim disebut tanah Kayong
sudah dimulai pada masa kerajaan Tanjungpura
kuno yang wujud pada abad ke 15, yang bermula dari negeri baru di Ketapang, kemudian
berpindah ke Sukadana dan kelak menurunkan kerajaan kerajaan lain di Kalimantan
bagian barat.
Penanda islam hadir ditanah Kayong sejak abad ke 15 ini ditemukannya nisan nisan tua di keramat 9 berangka tahun saka. Jika di konversi tahunnya adalah 1423 masehi, artinya sejak tahun tersebut telah ada orang Islam yang di makamkam. Menurut KH. Agus Sunyoto dalam karya bukunya yakni Atlas wali songo, disebutkan bahwa jejak dakwah sunan ampel pada tahun 1420 masehi juga sampai ke bumi Sukadana . pada masa itu Sukadana menjadi ibu kota dari kerajaan Tanjungpura.
Berikut akan
kami rangkum perjalanan jejak dakwah para wali di tanah Kayong ( Ketapang dan Kayong
utara ) dari mulai urutan yang paling
tua diabad ke 15, hingga yang
paling muda yakni pada abad ke 19.
Makam
keramat tujuh dan sembilan di Ketapang
Nisan di Keramat 7 dan 9 |
se
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu nisan dengan
inskripsi tahun saka terdapat di kompleks makam keramat 9 Ketapang, berangka
tahun 1423 masehi . dengan adanya makam keramat tujuh dan Sembilan tidak lepas
dari sejarah kerajaan Tanjungpura yang didirikan oleh Brawijaya dari Kerajaan
Majapahit di jawa bercorak Hindu-Budha.
Mengenai Sumber tentang
keberadaan kerajaan Tanjungpura ini tertulis dalam kitab Negarakertagama yang
ditulis oleh Mpu Pranca serta beberapa catatan manuskrip lokal berbahasa arab
melayu dan sumber eropa yang lainnya.
Adapun keberadaan makam
keramat 7 dan 9 sangatlah menarik perhatian,walau tidaklah diketahu nama
namanya, namun di yakini bahwa yang dimakamkan di makam tersebut bukanlah orang
biasa. dapat dilihat dari type nisan
dengan ciri fisik seperti di keramat 7 dan 9 itu di sebut sebagai type nisan Demak
Tralaya.
Banyak diantara nisan type
Demak Tralaya yang ada di keramat 9 memiliki lambang khusus berupa medalion
atau bulat tengah, yang lazim lambang ini disebut dengan lambang purnama sidhi.
Nisan dengan lambang purnama sidhi ini sangat lazim dipakai untuk penanda bahwa
yang dimakamkan adalah pemuka agama.
Berdasarkan tahunnya makam
dikeramat sembilan ini dapat dihubungkan dengan keberadaan dakwah Sunan Ampel yang
menjangkau kerajaan Tanjungpura pada tahun 1420 masehi. Jika di Banjar,
terdapat seorang ulama pada masa yang
sama, bernama Khatib Dayan atau Syarif Maulana al idrus, yang di kirim dari jawa. Maka perlakuan yang sama juga terjadi di
kerajaan Tanjungpura setelah dakwah Sunan Ampel mendahului, sehingga ada
penerus dari beliau untuk berdakwah di kerajaan Tanjungpura.
Makam Syeh Ali, Syeh Mahmud, Dan syech husein di Pulau datok
Makam Ulama di Pulau Datok, dan Manuskrip |
Berdasarkan dari lambang purnama sidhi yang ditemukan pada satu nisan yang bertype Demak Tralaya tersebut, dapat dijelaskan bahwa orang yang dimakamkan Di Pulau Datok tersebut benar seorang ulama. Sebagaimana lambang purnama sidhi yang juga terdapat pada makam para ulama di Keramat 9 Ketapang.
Dilihat
dari type nisan Demak Tralaya tersebut, diperkirakan nisan dengan corak seperti ini berkembang pada abad
ke 15 – 16 masehi. Maka dimungkinkan setelah dakwah Sunan Ampel, kemudian Sunan
Giri mendirikan Giri Kedaton dan berkolaborasi dengan Sultan Fatah raja Demak
Bintara. Hal ini dimaksudkan untuk melanjutkan dakwah berikutnya hingga sampai
ke Sukadana.
Salah
satu dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri bersama Sultan Fatah saat itu melalui
jalur politik, yakni dengan cara menjadikan Giri Kedaton sebagai tempat
legitimasi bagi raja raja muslim dengan gelar Sultan. Legitimasi ini dilakukan
terhadap semua raja raja senusantara pada masa itu, tak terkecuali dengan raja Tanjungpura
era Sukadana, yang pertama kali mendapat gelar sultan dari Sunan Giri yakni Karang
Tanjung.
Raja
Karang Tanjung mendapat gelar Sultan Ali aliuddin, selanjutnya raja raja setelahnya
bergelar sultan hingga terakhir pada masa Gusti Asma dengan gelar Sultan
Muhammad Jamaluddin.
Yang
menarik, di sekitar
areal makam dijumpai banyak fragmen keramik
kuno lintas peradaban. Ditemukan juga gerabah, genting dan fragmen
bata merah. Jika
dilihat secara seksama dari beberapa fragmen bata merah dan genteng, tampak ada
perubahan signifikan dari makam tersebut. Terutama cungkup yang ada saat ini sudah berganti, menggantikan cungkup lama. Demikian juga dengan jirat makam, sudah
berubah.
Namun
dari jejak arkhelogis yang ada makam tersebut masih ada, dan sangat tua. Hal ini bisa
dilihat dari temuan fragmen keramik, genteng, bata merah
yang khas era majapahitan.
Misalnya, ditemukan bata merah dengan ukuran lebar 13 cm, tebal 5 cm dan panjang tidak
utuh lagi. Bata ini ada kemiripan dengan komplek makam Tok Mangku. Dengan
demikian makam tersebut sudah ada sejak masa kerajaan Tanjungpura era Sukadana.
Makam Tok Mangku : Makam Ulama dan para Raja Tanjungpura Era Sukadana
Salah Satu Makam ZIrat bata Merah di Komplek Tok Mangku Sukadana |
Komplek Makam bercorak islam Tok Mangku secara administrasi berada di Dusun Simpang Empat Desa Pangkalan Buton Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong Utara. Terletak di Punggung Gunung Peramas, sejauh 800 meter arah Timur dari jalan Sungai Mengkuang dengan ketinggian 136 meter dari permukaan laut. Komplek makam ini menempati bidang datar 12 x 12 meter di punggung Gunung Peramas sebelah barat.
Telah dibangun cungkup makam beratap seng dengan ukuran 5 X 8 Meter, dengan tiang-tiang penyangga kayu belian dan pengecoran lantai dilapis keramik serta pemagaran kayu bersilang.Makam yang terdapat dalam komplek ini berjumlah 7 buah, diidentifikasi sebagai makam A,B,C,D,E,F dan G. Hanya makam A yang masih mempunyai nisan asli, yang lainnya diletakkan batu jirat makam sebagai pengganti nisannya.
Nisan makam A terbuat dari batu andesit dengan bentuk yang sederhana, dibagian nisan kepala mempunyai inskripsi kalimah tauhid dalam lingkaran dengan aksara Arab. Lingkaran ini dalam type nisan Demak Tralaya lazim disebut dengan lambang purnama sidhi, dimana lambang ini diperuntukkan bagi para pemuka agama.
Jirat makam A terbuat dari bata merah dan pada bagian yang utuh berukuran besar. Konstruksi jirat relatif baik, walau dibeberapa bagian sudah terjadi penurunan dan hilang. Bentuk jirat ini berundak dengan motif dan ornamen persegi. Pemasangan bata merah dilakukan dengan sistem gosok, sehingga sebagian masih terkunci kuat walaupun sudah dimakan umur.
6 makam lainnya terdiri dari jirat berupa tumpukan bahan batu bata merah dan batu putih/batu kapur yang pecah dan teraduk serta terlihat ketuaan dari materialnya. Masih dapat dilihat sedikit petunjuk bahwa ada makam dengan jirat batu bata merah dan ada makam dengan jirat batu putih/batu kapur. Dibeberapa bagian dapat terlihat, jirat batu bata merah yang diukir dengan motif bunga, sedangkan pecahan batu putih/batu kapur berbentuk pola-pola tertentu. Dari itu, dapat kita membayangkan bahwa makam di Komplek Makam Tok Mangku ini dahulu adalah makam yang bagus dengan bahan yang juga baik.
Sampai saat ini belum ada keterangan dan penjelasan tentang siapa Tok Mangku ini sebenarnya dalah kontek sejarah. Sehingga masih menjadi pertanyaan, siapa sebenarnya yang dimakamkan di Komplek Makam Tok Mangku. Namun dari lambang purnama sidhi yang ditemukan pada salah satu nisan, dapat diyakini bahwa makam tersebut adalah makam Ulama di abad ke 15 – 16 masehi. Sedangkan makam yang lain dengan jirat yang lebih istimewa terdapat batu kapur dapat diduga sebagai raja raja Tanjungpura era Sukadana.
Keletakan komplek makam ini berada ditempat yang tinggi, hingga tahun 1800 an, masih menjadi tradisi dalam masyarakat bahwa orang-orang penting seperti bangsawan dan ulama selalu dimakamkan pada lokasi yang lebih tinggi dari masyarakat biasa. Material jirat terdiri dari batu bata merah dengan ukuran besar, bercirikan guratan seperti batu bata merah era majapahit akhir, dan disusun dengan pola simetris tertentu, sedangkan material jirat batu putih/batu kapur yang berbentuk pola khusus jirat menjadi penanda bahwa makam-makam ini adalah bukan makam kebanyakan. Ketuaan dan kekhasan makam-makam ini memberikan pemahaman bahwa ini bukan makam-makam orang biasa. Ditambah lagi, makam raja-raja era Sukadana Tua masih beberapa yang belum diketahui.
Kedatangan Ulama Dari Palembang Pada Masa Panembahan Baroh
Tata Letak Kesultanan Matan Kuno di Sungai Matan |
Panembahan Baroh
bergelar Sultan Musthafa Izzudin (De Wall) adalah putra dari Panembahan Ayer
Mala yang bergelar Sultan Umar Akamuddin bin Sultan Abubakar Jalaluddin bin
Sultan Hasan Kawiuddin bin Sultan Ali Aliuddin bin Baparung, bin Prabu Jaya
pendiri kerajaan Tanjung Pura era Sukadana yang berasal dari Majapahit.
Penembahan Baroh merupakan pendiri
Kerajaan Matan yang berada di hulu Sungai Simpang, tepatnya Sungai Matan. Puing puing reruntuhan Kota
Matan yang dibangun oleh Penembahan Baroh masih dapat kita saksikan hingga saat
ini walaupun kurang terawat dan menyedihkan di antaranya adalah ; kolam “Laut Ketinggalan”, Umpak bekas tiang
seri keraton , bekas pecahan pecahan keramik , serta bata merah di sekitar lokasi bekas keraton
matan kuno yang tidak jauh dengan kompleks makam raja Matan yakni gusti
Aliuddin atau Sultan Mangkurat serta Sayyid
Kubro dan makam bertype nisan Aceh dan makam tua bertype Phallus atau batu kuno.
Pada sebuah catatan manuskrip bahwa di masa Panembahan Baroh ini, kedatangan rombongan ulama dari palembang
untuk brdakwah, namun sayangnya tidak diketahui siapa nama nama ualam yang
datang pada masa beliau tersebut
Panembahan Giri Kesuma; Raja Sekaligus Ulama
Urutan Raja Raja Tanjungpura Era Sukadana, Giri Kesuma nomor 10 |
Panembahan Giri kesuma bergelar Sultan Muhammad Tajudin, adalah raja
sekaligus ulama penyebar islam. Ia menjadi raja ditabalkan oleh Sunan Giri Prapen sebagai penerus dinasti Sunan Giri.
Panembahan Giri kesuma ditabalkan dengan gelar Sultan Muhammad Tajudin(De Wall). Ia adalah Raja Tanjungpura
era Sukadana terakhir yang dilantik di Giri kedaton. Sebab pada masa itu posisi
Giri kedaton atau kedatuan Giri sudah agak melemah, dikarenakan kerajaan Demak Bintara
telah memudar akibat konflik perebutan kekuasaan.
Maka selanjutnya raja Tanjungpura berikutnya tidak lagi berhubungan
dengan Kedatuan Giri, namun berhubungan kepada Kerajaan Mataram Islam era Sultan
Agung yang berhubungan langsung dengan Kesultanan Turki.
Panembahan Giri Kesuma adalah putra dari Sultan Musthafa Izzudin bin Sultan Umar Akamuddin bin Sultan Abubakar Jalaluddin bin bin Sultan Hasan Kawiuddin bin Sultan Ali Aliuddin bin Baparung, bin Prabu Jaya pendiri kerajaan Tanjung Pura era Sukadana yang berasal dari Majapahit.
Setelah meninggalnya Penembahan Baroh, diangkatlah Giri Kesuma dengan gelar sultan Muhammad Tajudin. Karena bekal ilmu Agama Islamnya yang ia peroleh dari Giri kedaton yang di didirikan Sunan Giri, maka Panembahan Giri Kesuma sangat rajin dan bersemangat menyebarkan agama Islam ke berbagai penjuru negeri diwilayah Tanjungpura di masa itu.
- Raden Saradewa atau Giri Mustika penerus ktahta berikutnya dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin
- Ratu Surya Kesuma, menikah dengan Raja Tengah dari Brunei, berputrakan Raden Sulaiman,dan mendirikan kesultanan sambas pertama bercorak Islam dengan mengambil berkah gelar dari pamnnya yakni sultan muhammad Syafiuddin.
Dimasa panembahan Sorgi Islam menyebar cukup pesat, ia juga melakukan dakwah
masuk ke perhuluan serta membuka dan memperluas daerah Sukadana dan Matan. Mengingat
pesatnya perkembangan Islam dimasanya, Panembahan Sorgi juga mendirikan
madrasah atau pesantren seperti tempat ia pertama kali menimba ilmu di Giri Kedaton
atau Kedatuan Giri.
Tanjung pura era Sukadana dimasa Panembahan Giri kesuma ini berada pada
puncak kejayaannya, sehingga Mulia atau
meliau di masanya di tingkatkan, dimana
pada masa panembahan Sang Ratu Agung Atau Pudong Berasap, mulia juga sudah menjadi
jalur penting untuk menghubungkan antara Sungai Mendauk dengan negeri negeri di
Kapuas.
Mulia pada masa itu
ada di pesisir dan terbentang dari mulai pulau pelintuan hingga muara sungai
simpang dan sungai mulia kuno yang saat ini di sebut sebagai sungai rantau
panjang. di bekas areal ini terdapat banyak temuan berupa fragment keramik dan
makam makam tua, sebagian besar sudah rusak.
Panembahan Sorgi meninggal di bulan januari 1609, dan di
makamkan di Giri yang saat ini lokasinya masih identifikasi antara daerah Sukadana ataupun Matan.
Panembahan Giri Mustika dan Syeh Syamsuddin
Makam Giri Mustika dan Panembahan Baroh Di Gunung Lalang setelah di Eskavasi |
Panembahan Giri Mustika ditabalkan menjadi seorang sultan dengan gelar Sultan
Muhammad Syafiuddien, yang menabalkan beliau adalah langsung dari ulama mekkah
bernama Syeh Syamsudin. Kisah ini tertulis dalam salah satu manuskrip tua, dalam
sumber tersebut dituliskan bahwa Syeh Samsuddin saat pelantikan membawa satu
quran kecil dan surat gelaran dan permata yaqut merah dari Mekah sebagai bukti legitmasi
gelaran sultan pada Giri Mustika.
Manuskrip Tetang Kerajaan Tanjungpura Sukadana hingga Syeh Syamsuddin |
Mulia bukanlah seperti Desa Harapan Mulia saat ini, penyebutan Mulia pada masa itu berdasarkan pada muara yang masuk ke sebelah kanan dari sungai simpang ia menyebutnya sebagai sungai mulia. di tambah lagi peta pada tahun 1922 yang memuat penanda di sepanjang sungai yang saat ini disebut Sungai Rantau Panjang di masa itu banyak di huni oleh masyarakat.
Pada saat itu sungai mulia juga memliki anak cabang yang di sebut Sungai Batu yakni saat ini di sebut Sungai Mulia karena menuju pada Desa Harapan Mulia, kemudian di atasnya lagi sungai Itam dan seterusnya.
Sultan Muhammad Syafiuddin meninggal pada tahun 1677 dan dimakamkaan di atas bukit lalang belakang mulia. Beliau wafat dengan meninggalkan nama yang harum, rakyat saat itu memberikan ia gelar sebagai Sultan yang adil dan bersih.
Manuskrip Yang di tulis oleh Ahmad Abdulrahman Alkadire pada bulan dzulhijjah 1268 Hijriyah atau tahun 1852 Masehi, dan disalin ulang oleh Necsher ( Hindia belanda ) tahun 1855 |
Ketika
kesultanan Matan dimasa akhir Gusti Zakar Negara (Sultan muhammad Zainuddin),
datanglah Seorang ulama yang terkenal, ia di terima
dilingkungan kesultanan matan, bahkan menajdi qadhi yang merupakan jabatan
hakim agama tertinggi dalam sebuah struktur kerajaan, beliau bernama Syarif Hasyim Bin Yahya
bergelar Sayyid Kubro atas gelar guru besar dilingkungan Kerajaan. Selain itu
ia juga di kenal dengan nama Tuanku janggut Merah.
Setelah sultan zainuddin
meninggal di tahun 1732, kemudian di lanjutkan oleh Pangeran ratu yang naik
tahta pada tahun 1732 dan meninggal pada tahun 1736 . Pada masa ini Sayyid Kubro
kedatangan tamu yang juga merupakan sahabatnya yang berasal dari Hadramaut yang bernama Habib Husein Alkadrie. Hingga
pada masa sultan Aliuddin (Pangeran Mangkurat),
naik tahta di Kesultanan matan pada tahun
1736, Habib Husein dan Sayyid Kubro masih menjadi pemuka agama di
kerjaan, dimana pada masa itu Sayyid Kubro menjadi Qadhi ( hakim agama
tertinggi) dan habib husein alkadrie selaku Mufti.
Diatas kami sajikan sebuah manuskrip yang kami alih aksarakan, ditulis oleh pangeran
bendahara Istana Pontianak atas nama Ahmad abdulrahman alkadire pada bulan
dzulhijjah 1268 Hijriyah atau tahun 1852 Masehi.
Makam Raja Matan abad 19 di Desa Tanjungpura Ketapang |
Syekh aminullah al maghribi adalah ulama pada abad 19, yakni pada masa masa
akhir kesultanan matan di tangan Gusti Asma (sultan muhammad jamaluddin), dan Sultam
Muhammad Zainuddin Mursal Bin Iranata. Makam Syekh almaghribi berada di Desa Tanjungpura,
Kabupaten Ketapang kalimantan barat, tepatnya disampaing makam raja dan
permaisuri.
Syekh Al Maghribi memiliki tempat khusus untuk berkahlwat, yang saat
ini dinamakan masyarakat setempat dengan nama lapangan khalwat sapujagat. Tempat
ini terpisah dengan makam, namun rajin dijadikan tempat favorit bagi para
jama`ah.
Demikianlah ulasan
singkat kami mengenai keberadaan jejak dakwah wali dari kerajaan Tanjungpura
tua, Sukadana, hingga Matan dari abad ke 15 hingga abad ke 19.
Artikel ini di tulis oleh Miftahul Huda
bersama Tim Ahli Cagar Buduaya Kayong Utara.
Posting Komentar