Sikap NU Terhadap Budaya di Tanah Kayong

 

Doa pada Acara Ritual Mandi Safar Teluk Melano 2019 ( MH)

Sejarah perkembangan Islam di Nusantara termasuk Kayong utara dimasa lalu tidak bisa lepas dari pengaruh budaya. Penyebaran dengan jalan kebudayaan membuat Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat.

 

Para penyebar Islam di tanah Kayong pada masa awal awal memahami terlebih dahulu bagaimana budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Dengan budaya dan tradisi sebagai akar identitas masayarakat setempat justru menjadi kekuatan untuk menjadi Islam yang memiliki kekhasan tersendiri.

 

Tinggalan dakwah islam dalam kebudayaan di tanah Kayong (Ketapang dan Kayong Utara), dapat kita lihat dalam beberapa tradisi yang masih lazim dibawakan oleh masyarakat. Seperti tradisi Nyapat Tahun, Semah Laut, Buang Bunge Tahun, Kerenah Kampong, Caboh Kampong, Mandi Safar dan sejenisnya.

 

Dalam tradisi tersebut diatas, jika di Jawa juga di kenal dengan istilah Sedekah Bumi, Nyadran, rebo wekasan, dan lain sebagainya. Tradisi semacam ini ketika Islam masuk tak lantas hilang, namun justru menjadi kekuatan untuk menyemai kebersamaan dan memperkuat ukhuwah Islamiyyah.

 

Misalkan dalam acara Mandi Safar yang rutin di gelar oleh Kerajaan Simpang Matan pada setiap Tahun di hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Mandi Safar dimasyarakat Melayu Simpang Matan adalah suatu upaya atau laku spiritual untuk memohon kepada Allah SWT, sebagai Tuhan sang pencipta alam agar dijauhkan dari balak dan bencana, sekaligus memperingati peristiwa sejarah kepergian Oppu Daeng Manambon dan Putri Kesumba dari kerjaan Matan ke kerajaan Mempawah pada abad ke 17 silam.

 

Jika ditelisik secara seksama dan mempelajari bagaimana asal usulnya, Mandi Safar di Masyarakat simpang ini,  lahir dari sebuah praktik praktik ritual adat yang dikolaborasikan dengan ajaran Agama Islam. hal ini nyata tercermin dari beberapa aspek diantaranya; pemimpin ritual yang terdiri dari dari beberapa orang tokoh adat yang kerap disebut sebagai Dukun Kampung yang berkolaborasi dengan pemuka agama, yang kerap di sebut ustad ataupun kiai atau pak imam.

 

Dari aspek ini terlihat bagaimana pemimpin agama dan pemimpin adat saling bekerja sama dan saling meengisi, hal ini disebabkan karena sebuah prinsip yang saling meneguhkan yakni adat bersendikan syariat dan syariat bersendikan kitabullah. selain itu dari sisi sejarah tentang perkmbangan Islam di Kesultanan Matan juga tidak dapat kita nafikkan, bagaimana para ulama seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa mereka memiliki peran yang penting dalam menjaga tatanan di Kerajaan.

 

Dua tokoh ulama kesultanan Matan abad ke 17 yakni Habib Hasyim Bin Yahya atau Sayyid Kubro dan sahabatnya yakni Habib Husein Alqadri, tentu juga memiliki peran yang penting dalam mewarnai pentas dakwah, dimasyarakat akar rumput kerajaan Matan.  yang pada masa itu masih  awam tentang ajaran Islam. ke dua tokoh ini berdasarkan tradisi tutur yang berkembang di masyarakat kerap digambarkan memiliki karakter yang berbeda, terutama dalam soal metode dakwah.

 

Jika habib Hasyim Bin Yahya, karena beliau sebagai Kadi /Qodhi yakni hakim agama tertinggi dalam Kerajaan, maka cenderung memiliki sikap yang tegas terhadap keputusan sebuah perkara. Berbeda dengan Habib husein al Qadrie yang memang berlatar belakang Sufi dengan aliran Tarekat Qadiriyah, dan memiliki cara yang lebih dinamis.
Dikisahkan pada suatu saat seseroang datang kepada Habib Husein Alqadrie dengan membawa kacip ( alat untuk membelah buah pinang) yang sudah patah pada bagian kepalanya.

 

Seseorang tersebut bercerita kepada Habib Husein mengenai keadaanya yang beberapa hari ini merasa dihantui rasa bersalah, sebab ia sudah terlanjur mematahkan Kacip peninggalan turun temurun dari nenek moyangnya. Menurutnya ia melakukan itu atas pendapat dari Habib hasyim bin Yahya, yang menganggap benda tersebut bisa membawa pada kemusyrikan, sebab dikepala kacip tersebut terdapat semacam ukiran menyerupai patung.

 

Menanggapi hal tersebut Habib Husein Alqadrie tersenyum sambil meminta kacip yang sudah patah tersebut, lalu ia mengusapnya dan berkata; '' ini hanya barang mati, jika kamu manghakekatkan patung yang ada disini adalah tuhanmu, maka jatuhlah syirik kepadamu, tapi jika kamu hanya semata mata menjadikan kacip ini sebagai penghormatan terhadap leluhurmu, silahkan dipakai ''. ungkap Habib Husein, sambil memberikan kembali kacip yang tadinya rusak kini kembali utuh setelah di usapnya.

 

Dari cerita tutur yang turun temuruyn dan masyhur dikalangan masyarakat Simpang tersebut,  dapat menjadi pentunjuk bagaimna Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama dimasa itu dilakukan dengan beberapa cara di antaranya cara penegakan hukum syari`ah dan pendekatan Budaya. Dakwah yang membumi dikalangan akar rumput ini dapat terlihat jejaknya pada tradisi Mandi Safar.

 

Do`a Islami serta mantra atau masyarakat simpang menyebutnya bemamang adalah satu paket permohonan kepada sang maha kuasa manakala prosesi Mandi Safar digelar. Kemduian pada pemaknaan simbolik jumlah Sesajian atau perabahan yang juga kerap di hubungkan dengan rukun Islam serta rukun Iman, misalnya saja pada jumlah ancak (tempat sesajian) dan perahu, yang  kerap mengacu pada angka lima dan enam, yang merupakan representasi dari Rukun Islam dan Rukun Iman.

 

Belum lagi pemaknaan dalam membuat ancak yang terdapat simpul simpul yang di ikat dengan tali juga memiliki pemaknaan tersendiri yang berhubungan dengan ketauhidan kepada sang khalik serta lain sebagainya, yang nanti akan dibahas khusus dalam pengupasan makna makan simbolik dari setiap prosesi ritual Mandi Safar.

 

Seiring berjalannya waktu, peran budaya tidak lantas hilang setelah era penyebaran Islam hingga saat ini.  Keberhasilan agama Islam bertahan di Nusantara termasuk tanah melayu Kayong,  justru terjadi karena adanya akulturasi budaya dan agama. Ritual keagamaan masih dipraktikkan tanpa menyingkirkan faktor tradisi seperti misalnya upacara Mandi safar yang telah di ulas diatas.

 

Oleh karena  itu untuk lebih memperluas jaringan serta memperkokoh keberadaan Islam saat ini, maka dakwah NU yang beraliran ahlussunnah waljama`ah ini mengikuti jejak para wali dan pemuka agama dimasa lalu, dengan mengedepankan strategi kebudayaan, agar dakwah-dakwah keagamaan yang terjadi menjadi lebih menyejukkan dan dapat diterima dimasyarakat. 

 

Maka tak heran jika sikap para ulama NU terhadap kebudayaan dan amaliah amaliah dimasyarakat, yang berkaitan dengan tradisi tertentu terkesan longgar dan tidak ada cap syirik ataupun bid`ah apalagi kafir. Para ulama NU memahami konsep dakwah yang harus dilakukan dengan cara tidak memusuhi sekalipun itu bertentangan.

 

Justru para ulama NU berfaham Aswaja ini tak jarang berada pada garis terdepan soal tradisi dan budaya. Misalkan jikalau ada kelompok yang mengatakan amaliah ziarah, Tahlil dan  yasinan adalah Bid`ah, maka tak segan segan para ulama Aswaja menjadi pembelanya.

 

Mereka sadar bahwa dakwah yang baik itu bisa diterima jika sikap dan cara kita juga baik. Sebab kebaikan yang dilakukan akan dapat dirasakan dan kelak justru menjadi sebab seseorang itu sadar dengan sendirinya.

 

Berbeda dakwah yang dilakukan dengan cara intimidasi ataupun kekerasan sekalipun. Dakwah yang demikian, mungkin akan diterima, tetapi dengan sangat terpaksa, dan dikemudian hari justru akan menimbulkan gejolak serta perpecahan.

 

Maka bersyukur di Nusantara punya wajah Islam yang ramah disebabkan masuknya Islam dengan cara yang halus tanpa pedang ataupun permusuhan, sehingga tercupta situasi yang aman dan tentram, dan hal ini mesti kita rawat dan jaga hingga wajah Islam Indonesia bisa memberikan contoh pada dunia mengenai arti damai yang sejati. Amieen


Penulis :  Miftahul Huda

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama