Egalitarianisme Agama (Bukan Sebagai Alat Perbudakan Spritual)

 

Ket Photo, Gus Ra'uf Bersama Gus Muhsin Dan Gus Hasan Syarif

Oleh Gus Ra'uf Arrahbini Wakil Ketua PCNU Kayong Utara 

Feodalisme dalam agama adalah bentuk penjajahan spritual membawa berbagai dampak negatif terhadap tatanan sosial masyarakat dan merusak konstitusi beragama. Salah satunya adalah terbatasnya kebebasan berpikir dan berekspresi. Ketika agama dipakai untuk membenarkan ketidaksetaraan, penindasan dan mengabaikan egaliterianisme, maka individu yang berada di posisi bawah tidak hanya dihimpit oleh struktur sosial, tetapi juga oleh keyakinan agama yang mereka terima yang mengajarkan mereka untuk menerima nasib tersebut tanpa protes, tanpa kritik. Hal ini bisa mengarah pada kebisuan sosial di mana ketidakadilan, inferioriritas dan ketidaksetaraan dianggap sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya terjadi.


Feodalisme dalam agama mengajarkan tentang pentingnya kepatuhan dan kerendahan hati (tawadlu yang berlebihan) bagi para pengikutnya (Muhibbinnya), yang sering kali dieksploitasi untuk menjaga sistem yang tidak setara dan tidak adil. Dalam tradisi yang ada, misalnya, doktrin tentang ketundukan dan kecintaan kepada individu ataupun kelompok tertentu berpotensi dan sering digunakan untuk menjustifikasi ketidaksetaraan sosial, perbudakan spritual (monopoli kebenaran) dan eksploitasi sumber daya para pengikutnya. Konsep-konsep seperti ini dapat dimaknai sebagai pembenaran terhadap sistem feodal dan menciptakan tatanan masyarakat yang  inferior, di mana pemimpin agama yang merasa memiliki otoritas tertinggi berperan sebagai wakil Tuhan di dunia ini, sedangkan umat biasa diminta untuk taat tanpa banyak pertanyaan.


Dalam Islam, ada banyak pemikiran yang menekankan egalitarianisme (prinsip kesetaraan, bahwa manusia itu sama dihadapan tuhan dan hanya ketakwaan sebagai satu satunya tolak ukur kemuliaan) dan keadilan sosial, yang mengajak umat untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan melawan feodalisme dan ketidakadilan, Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Alhujarat ayat 13 yang artinya :


"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha teliti".


Hadis dari musnad Ahmad, Rasulullah bersabda " Wahai sekalian manusia! Tuhan kalian satu, dan ayah kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?” mereka menjawab: Iya, benar Rasulullah SAW telah menyampaikan".


Selain ayat Al-Qur'an dan hadis bahwa Konsep-konsep seperti ijma (konsensus) adalah dalil (bukti) tidak adanya otoritas tertentu dalam memonopoli kebenaran agama dan adanya pintu ijtihad (penafsiran hukum Islam yang independen) menjadi bukti terbukanya kebebasan berpendapat dalam agama tentunya dengan kemampuan dan syarat yang telah ditetapkan. Hal ini membuka jalan bagi perubahan dan kritik terhadap struktur sosial yang ada, termasuk justifikasi kebenaran materi materi agama pada individu maupun kelompok tertentu.


Kesimpulan, Feodalisme dalam agama memiliki pengaruh yang dalam terhadap struktur sosial, politik, dan ekonomi, sering kali ajaran agama digunakan untuk membenarkan ketidaksetaraan, perbudakan spritual dan eksploitasi sumber daya. Meskipun demikian, agama juga memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan yang mempromosikan keadilan sosial, kebebasan, egalitarianisme dan kesetaraan. Oleh karena itu, penting bagi umat beragama untuk menilai kembali ajaran-ajaran tersebut dan memastikan bahwa agama berfungsi sebagai kekuatan pembebasan, bukan sebagai alat penindasan dan perbudakan.

Post a Comment

أحدث أقدم